TRIBUNSORONG.COM, SORONG - Masyarakat pemilik hak ulayat di Distrik Sayosa Timur, Maudus, Temel dan Distrik Senok, Kabupaten Sorong, kini menolak kehadiran PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri, di atas wilayah adat mereka.
Diketahui lokasi PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri berada di atas hutan milik Masyarakat Adat Sub Suku Moi Salkhma dan Moi Abun Taa Kabupaten Sorong.
Gelombang penolakan masyarakat adat di wilayah Sayosa Raya Kabupaten Sorong, saat pertemuan di Base Camp Klakenik Kilometer 70 pun memuai banjir dukungan.
Dukungan tersebut juga datang dari aktivis Greenpeace Indonesia yang berada di wilayah Sorong, Papua Barat Daya.
Baca juga: Hutan Adat Terancam, Masyarakat Pemilik Hak Ulayat Tolak Investasi di Sayosa Raya Sorong
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia Nico Wamafma mengatakan, investasi di wilayah milik masyarakat adat selama 20 tahun terakhir terjadi konflik.
"Kami melihat persoalan di Sayosa Raya, pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terkesan mengambil peran lebih berat sebelah," ujar Nico Wamafma di Sorong, Kamis (12/10/2023).
Greenpeace Indonesia menilai, gelombang penolakan masyarakat adat harus menjadi bahan evaluasi agar pemerintah Papua Barat Daya, berada di posisi diri netral.
Ia berujar, dengan posisi netral tersebut ke depan pemerintah Papua Barat Daya, bisa merevisi tata kelola perizinan berbasis lahan di Provinsi ke-38 di Indonesia.
Penolakan investasi harus menjadi pintu masuk bagi pemerintah, agar ikut menilai kembali hubungan dokumen perizinan dari awal hingga akhir dan hak masyarakat adat.
Pasalnya, pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK Nomor 35 Tahun 2012, secara tegas mengakui hutan masyarakat adat sudah tak lagi milik negara.
Baca juga: Jadi Kabupaten Konservasi, Pemkab Tambrauw Batasi Investasi Skala Besar, Singgung soal Lahan Sawit
"Kalau ada investor atau sejenisnya ingin hadir di wilayah milik masyarakat adat di Tanah Papua, maka pemerintah harus menduduki itu kembali," tegasnya.
Menurutnya, setiap izin investasi di wilayah masyarakat adat dicek, jika ada penolakan maka harus dipertimbangkan kembali.
Hanya saja, Greenpeace Indonesia menilai peran pemerintah cukup minim dalam menjembatani hak masyarakat adat yang ingin eksistensinya harus dihargai.
"Pemerintah saat ini lebih melihat sumber daya alam sebagai devisa atau keuntungan ekonomi bagi negara," jelas Nico.
Baca juga: Mohammad Musaad Tekankan Investasi Papua Barat Daya Harus Ramah dan Inklusif
Meski begitu, pemerintah mengabaikan suatu hal yang mengancam ruang hidup bagi masyarakat adat di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia meminta agar Dinas Lingkungan Hidup Papua Barat Daya bisa melihat kembali setiap izin investasi di wilayah hutan adat.
"Kalau sudah ada masyarakat adat melakukan penolakan terhadap investasi, maka pemerintah harus bisa carikan akar persoalannya dari awal," katanya.
Ia berharap, masyarakat adat yang hidup di wilayah tanah adat, hak-haknya bisa tetap terakomodir dalam kebijakan pemerintah.
Baca juga: DPMPTSP Gelar Rakornis Perkuat Rencana Strategi Investasi di Papua Barat Daya
Masyarakat Hukum Adat
Tanah Papua kini terbagi menjadi enam wilayah yakni Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah hingga Papua Barat Daya.
Keenam wilayah itu dihuni oleh sedikitnya 255 suku dengan total 428 bahasa, termasuk Malamoi atau Moi Sorong.
Masyarakat Adat Suku Moi sendiri terbagi menjadi tujuh yakni Moi Kelim, Abun Taa, Abun Jhi, Salkma, Klabra, Lemas dan Maya.
Rata-rata dari mereka tersebar di wilayah Sorong Raya, Papua Barat Daya dan memiliki tradisi lokal yakni egek (sasi).
Egek memiliki makna mendalam yakni merupakan upaya pelestarian lingkungan hidup, dan telah diakui sebagai kelompok masyarakat hukum adat di Sorong.
Melalui Egek, masyarakat Adat Moi juga berhak atas kelola yang dilindungi hukum seluas 4 ribu hektare perairan, dan 16 ribu hektare wilayah daratan Sorong.
Tolak Investasi
Hanya saja, sejumlah kebijakan pemerintah atas investasi justru mengancam hutan adat Suku Moi Salkma dan Abun Taa.
Akibatnya, sejumlah masyarakat adat tersebut melakukan penolakan terhadap PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri di Distrik Sayosa Timur, Maudus, Temel hingga Distrik Senok, Kabupaten Sorong.
Penolakan itu diungkapkan pemilik hak ulayat saat mengikuti pertemuan rencana kerja tahunan pemanfaatan hutan di Base Camp Klakenik Kilometer 70 Sorong.
Sosialisasi yang dilaksanakan pihak perusahaan tersebut juga dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu, Minggu (8/10/2023) kemarin.
Hal tersebut diungkapkan Pemuda Adat Sayosa Timur, Sorong, Benatus Malamuk melalui keterangan tertulis yang diterima TribunSorong.com, Selasa (10/10/2023).
"Kami masyarakat Adat Suku Moi Salkhma dan Moi Abun Taa, Kabupaten Sorong, sudah sepakat seratus persen menolak perusahaan tersebut," ujar Benatus.
Penolakan tersebut ditujukan kepada PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri dan segala bentuk investasi lain di atas tanah serta hutan adat mereka.
Ia berujar, langkah ini telah disampaikan kepada pihak perusahaan dan juga kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu di lokasi sosialisasi.
"Kami menolak perusahaan Mancaraya karena dia beroperasi di wilayah Adat Sayosa Raya, namun tidak ada dampak signifikan ke masyarakat adat," katanya.
"Hutan adat mau habis namun tidak ada dampak kesejahteraan bagi kami."
Ia mengaku, banyak pengalaman pahit telah di alami saat perusahaan PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri eksis.
Oleh karena itu, pihaknya dan seluruh masyarakat adat melakukan penolakan terkait dengan eksisting perusahaan dan investasi di wilayahnya.(tribunsorong.com/safwan ashari)