TRIBUNSORONG.COM -
Kematian Akibat DBD di Kota Sorong: Analisis Faktor Risiko dan Evaluasi
Oleh Tiara Shaman Datu Mahasiswa Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana Program Studi Biologi Fakultas Bioteknologi Yogyakarta
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi salah satu tantangan serius dalam dunia kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan jangka pendek seperti demam dan nyeri sendi tetapi juga berpotensi menimbulkan komplikasi berat hingga kematian apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Baca juga: Menuju Opini WTP, Pemkab Sorong Selatan Dorong Transparansi Pelayanan
DBD bersifat endemik di banyak wilayah di Indonesia dan kasusnya cenderung meningkat seiring dengan perubahan iklim, urbanisasi, serta perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung upaya pencegahan.
Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah adalah Kota Sorong yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya.
Baca juga: Intelektual Muda Moi Minta Setop Opini yang Menghambat Program Pendidikan Gratis di Kota Sorong
Kota ini memiliki karakteristik geografis dan iklim tropis yang sangat mendukung berkembangnya populasi nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektorutama penyebar virus dengue.
Lingkungan dengan kelembapan tinggi, curah hujan yang konsisten, serta sistem drainase dan sanitasi yang belum optimal menciptakan tempat ideal bagi nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak.
Kondisi ini menjadi lebih memprihatinkan ketika dikaitkan dengan data epidemiologis terkini.
Berdasarkan laporan profil kesehatan tahun 2022 Kota Sorong mencatat angka Case Fatality Rate (CFR) tertinggi di antara 13 kabupaten/kota di wilayah Papua Barat yaitu mencapai 50 persen.
Ini berarti dari seluruh kasus DBD yang terjadi di Kota Sorong setengahnya berujung pada kematian.
Baca juga: Ramalan Zodiak Kesehatan Besok Kamis 1 Mei 2025: Aries Waspada Nyeri, Gemini Demam, Leo Bugar
Sebagai perbandingan Kabupaten Fakfak mencatat CFR sebesar 2,4 persen, sementara 11 kabupaten/kota lainnya tidak mencatat adanya kematian akibat DBD pada tahun yang sama.
Tingginya angka kematian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas program pengendalian DBD yang selama ini diterapkan.
Baca juga: Ramalan Zodiak Kesehatan Besok Kamis 17 April 2025: Virgo Sakit Kepala, Capricorn Waspada Demam
Apakah intervensi seperti program 3M Plus, fogging, dan edukasi masyarakat sudah cukup?
Apakah masyarakat telah benar-benar memahami pentingnya pencegahan DBD dari rumah tangga masing-masing? Atau justru terdapat hambatan struktural, seperti keterbatasan fasilitas kesehatan dan kurangnya surveilans epidemiologi di tingkat lokal?
Baca juga: Ramalan Zodiak Kesehatan Hari Ini Rabu 16 April 2025: Cancer Sagitarius Bugar, Capricorn Demam
Beberapa faktor utama berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat DBD di Kota Sorong dan semuanya saling berkaitan dalam lingkaran permasalahan yang kompleks.
Jika ditelusuri dari sisi host (dalam hal ini manusia sebagai inang virus) pola hidup masyarakat menjadi salah satu aspek yang paling signifikan.
Banyak warga yang belum terbiasa menggunakan kelambu saat tidur, terutama di malam hari ketika nyamuk Aedesaegypti masih bisa aktif.
Penggunaan lotion antinyamuk juga masih rendah, terutama di kalangan anak-anak dan lansia yang justru merupakan kelompok paling rentan.
Di samping itu daya tahan tubuh yang rendah akibat kurang tidur, kelelahan, stres, dan pola makan yang tidak seimbang memperbesar peluang seseorang untuk mengalami infeksi berat.
Masyarakat yang mengalami infeksi sekunder atau sudah pernah terkena dengue sebelumnya juga lebih berisiko mengalami DBD berat (severe dengue) yang dapat menyebabkan perdarahan internal dan syok.
Di Kota Sorong, kurangnya pemahaman mengenai fase-fase klinis penyakit ini terutama fase kritis yang sering disalahartikan sebagai fase sembuh karena demam menurun menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah terlambat.
Faktor lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Banyaknya tempat genangan air seperti pot bunga, ember bekas, dan saluran air yang tersumbat memberikan ruang berkembang biak bagi nyamuk Aedes aegypti.
Baca juga: Mulai Tahun Ini Masuk Seluruh Sekolah Negeri di Kota Sorong Gratis, Sekolah Swasta?
Selain itu, hunian yang padat penduduk dengan sanitasi buruk dan ventilasi minim turut mempercepat penyebaran virus dengue.
Berbagai upaya telah digencarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Sorong dalam rangka menekan angka kasus serta mencegah kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD).
Baca juga: Pidato Gubernur Elisa Kambu di Depan Lulusan SMA Negeri 3 Kota Sorong “Kalian Harus Lebih dari Saya”
Langkah-langkah strategis seperti fogging atau pengasapan di wilayah yang teridentifikasi sebagai zona merah telah menjadi salah satu andalan utama.
Fogging dilakukan dengan tujuan memutus siklus hidup nyamuk dewasa pembawa virus dengue.
Di sisi lain, pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat melalui edukasi tentang 3M Plus menguras tempat penampungan air, menutup rapat wadah air, dan mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menampung air, serta menambahkan langkah-langkah preventif seperti penggunaan kelambu, larvasida, dan lotion antinyamuk terus disosialisasikan secara massif melalui berbagai kanal termasuk di sekolah dan rumah ibadah.
Salah satu inovasi yang juga telah diperkenalkan di tingkat nasional dan mulai dilakuakn secara bertahap adalah G1R1J (Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik).
Baca juga: 237 Calon Jemaah Haji Kota Sorong Siap Berangkat, Kemenag Pastikan Persiapan Capai Tahap Akhir
Gerakan ini bertujuan untuk menciptakan kader-kader pengawas jentik nyamuk di tingkat rumah tangga, agar masyarakat bisa aktif dan mandiri dalam melakukan pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan mereka sendiri tanpa selalu bergantung pada petugas kesehatan.
Namun sayangnya, tantangan dalam pelaksanaan program-program ini masih cukup besar di lapangan.
Salah satu kendala paling umum adalah rendahnya keterlibatan aktif masyarakat.
Baca juga: Tumpukan Lumpur di Jalan Ahmad Yani Kota Sorong Mulai Dibersihkan, Akses Lalu Lintas Kembali Normal
Banyak warga yang masih menganggap pengendalian DBD adalah semata-mata tanggung jawab pemerintah atau petugas kesehatan bukan urusan pribadi atau komunitas.
Akibatnya, program seperti G1R1J sering kali hanya berjalan di awal kampanye namun melemah di mtengah jalan karena kurangnya monitoring dan motivasi lanjutan.
Meskipun program telah berjalan, data menunjukkan bahwa strategi pengendalian belum sepenuhnya efektif.
Tingginya angka CFR di Kota Sorong mengindikasikan bahwa deteksi dini dan penanganan cepat belum merata.
Faktor ini sangat krusial mengingat fase kritis DBD sering terjadi saat demam turun dan banyak masyarakat yang keliru menganggapnya sebagai tanda membaik.
Di sisi lain, kurangnya integrasi antara edukasi masyarakat, infrastruktur lingkungan, dan sistem kesehatan memperburuk efektivitas penanggulangan.
Baca juga: Tumpukan Lumpur di Jalan Ahmad Yani Kota Sorong Mulai Dibersihkan, Akses Lalu Lintas Kembali Normal
Perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan dalam menanggulangi DBD di Kota Sorong.
Edukasi masyarakat harus lebih intensif dan melibatkan tokoh lokal, sekolah, serta media sosial sebagai saluran komunikasi efektif.
Penguatan surveilans dan pemantauan jentik oleh kader kesehatan juga penting untuk mengidentifikasi potensi wabah sejak dini.
Selain itu, strategi berbasis komunitas seperti kebun herbal pengusir nyamuk, kolam ikan antijentik, dan gotong royong membersihkan lingkungan perlu didorong sebagai solusi jangka panjang.
Fakta-fakta tersebut menempatkan Kota Sorong dalam sorotan kritis. Bukan hanya sebagai daerah endemis DBD tetapi juga sebagai indikator kelemahan sistem pengendalian penyakit menular di wilayah Indonesia Timur. (*)