Sosok Hari Ini
Sosok Dokter Soedanto, 48 Tahun Layani Masyarakat Pedalaman Papua, Iklas Dibayar Sagu dan Kayu
Berhati malaikat, dokter Soedanto, mengabdikan dirinya selama 48 tahun di pedalaman Papua, dibayar sagu dan kayu.
TRIBUNSORONG.COM - Berhati malaikat, dokter Soedanto, mengabdikan dirinya selama 48 tahun di pedalaman Papua, dibayar sagu dan kayu.
Sosok Fransiskus Xaverius Soedanto, akrab disapa Dokter Seribu Rupiah ini menunjukkan kesetiaan profesinya sebagai dokter.
Pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah ini berjalan masuk - keluar hutan dan rawa untuk mengecek kesehatan masyarakat dan satu kampung ke kampung.
Lantas seperti apa kisah perjuangan dokter Soedanto di Papua?
Baca juga: Sosok Tom Lembong, Mantan Menteri Jokowi Namanya Disebut Gibran Rakabuming 4 Kali, Lulusan Harvard
Perjalanannya dimulai setelah SK Gubernur keluar pada 1975 soal penerimaan tenaga kesehatan di Irian Jaya kala itu.
Disebut Dokter Seribu Rupia karena tiap kali merawat pasiennya, Soedanto memasang biaya yang sangat terjangkau.
Pada 2024 ini, genap sudah 48 tahun Soedanto melayani kesehatan masyarakat di Papua.
Ia tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 1975.

Setelahnya, Soedanto mendaftar program Dokter Inpres dan dinyatakan lulus di tahun yang sama.
Soedanto muda mendapat penempatan di Asmat, Irian Jaya, atau sekarang dikenal Papua.
Baca juga: Sosok Anisha Rosnah, Dinikahi Pangeran Abdul Mateen Mahar Rp11,7 Juta, Owner Sejumlah Bisnis Ternama
"Begitu SK Gubernur keluar 1975, saya ke Asmat dan jadi dokter di rumah sakit peninggalan Belanda," tutur pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, itu.
Terhitung, 6 tahun Soedanto melayani masyarakat di Asmat.
Berjalan kaki masuk – keluar hutan dan rawa, Soedanto mengecek kesehatan masyarakat dari satu kampung ke kampung lainnya.
Bahkan, saat melalui luasnya hutan Asmat untuk menjangkau para pasien, Soedanto hanya mengkonsumsi makanan seadanya.
"Saya hanya makan sagu dan ikan, sebab tidak ada sayur di sana, karena daerahnya rawa," ujarnya.
Tapi, selama di Asmat, saya tidak sendiri. Saya ditemani beberapa tenaga medis masyarakat asli di sana," terang Soedanto kepada Tribun-Papua.com, di Jayapura, Jumat (21/01/2022).
Soedanto menceritakan masyarakat Asmat hidup dengan nilai budaya yang kental, bahkan mereka masih memakai pakaian dari rumput.
“Selama melayani, banyak masyarakat tak mampu. Mereka hanya membayar dengan sagu, ataupun kayu bakar dari hutan," katanya.
Inilah cerita awal Dokter Seribu Rupiah, yakni memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan tidak memasang tarif tinggi.
Setelah mengabdi di Asmat, Soedanto pindah ke Kota Jayapura pada 1982.
Baca juga: SOSOK Lo Siaw Ging, Dokter Dermawan Meninggal Dunia Usia 90 Tahun, Kisah Haru Pasien yang Dibantu
Rumah Sakit Jiwa Abepura menjadi tempatnya melayani pasien hingga pensiun pada 2013.
Namun, ketulusannya dalam melayani pengobatan masyarakat tidak pernah padam.
Alhasil, Apotek Rahmat di Jalan Ayapo Nomor 11 Abepura, Kota Jayapura, dibuka untuk menunjang pelayanan kesehatan bagi warga Kota Jayapura.
"Apotek saya ini sudah 40 tahun. Waktu membuka praktek saat itu, rata-rata yang datang masyarakat kelas bawah, seperti pekerja bangunan, dan lain sebagainya," jelasnya.
Kata dia, di tahun itu, harga pemeriksaan diberikan bagi masyarakat cukup murah.
"Sejak 1982 hingga 1985 biayanya Rp 500. Kemudian, saya lupa di tahun berapa itu naik menjadi Rp 2.000. Saya lupa karena sudah lama sekali. Sampai baru-baru ini sudah Rp 5.000,” katanya.
Biaya pengobatan naik lantaran masyarakat saat ini sudah cukup memiliki pendapatan yang baik, dan kebutuhan keluarganya juga semakin meningkat.
"Dulu anak baru satu, kebutuhan juga masih sedikit. Tapi lama-lama anak bertambah, yah kebutuhan hidup tambah naik, seperti ongkos sekolah dan lain sebagainya, makanya baru-baru ini naik Rp 5.000," ujarnya.
Namun, menurut Soedanto, walau harga pemeriksaannya bertambah beberapa ribu, pasien yang datang ke tempat prakteknya terus meningkat.
"Setiap hari itu banyak pasien. Rata-rata 200 pasien saya periksa,” jelasnya.
Baca juga: Sosok Rizal Ramli Pernah Kerja Dipercetakan Demi Biayai Kuliah, Simak Capaian Prestasi Menterengnya
Mulai pukul 9.00 WIT, sudah banyak pasien antre.
“Jadi saya harus periksa satu per satu sampai kadang saya pulang pukul 15.00 – 16.00 WIT. Tapi itupun masih ada yang datang,” terangnya.
Dengan kondisi tubuh yang kini semakin menua, Soadanto mengaku terkadang dirinya merasa lelah,
"Tapi mau bagaimana, untuk masyarakat, saya harus tetap melaksanakan kewajiban saya sebagai dokter," pungkasnya.
Hingga saat ini, genap sudah 40 tahun Soedanto memberikan pelayanan kesehatan di Negeri Matahari Terbit, Port Numbay. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Papua.com dengan judul Kisah Soedanto di Papua, Dokter Seribu Rupiah 48 Tahun Layani Warga Pedalaman: Masuk Keluar Hutan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.