"Selain satang berbisnis dan melanjutkan pendidikan, rata-rata orang yang datang juga ingin mencari kerjaan," paparnya.
Apalagi, Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, hingga kini lebih menonjol di sektor jasa seperti perdagangan, industri, pariwisata, hingga telekomunikasi.
Kedatangan para warga di luar Sorong, Papua Barat Daya kebanyakan memilih ke arah sana dan pastinya sudah didukung dengan skill hingga modal.
Warga yang masuk dalam migrasi di Sorong tercatat sekira 45 persen, sementara keluar sekira 50 persen.
Kendati demikian, jika dibandingkan denganĀ orang yang tidak tercatat dalam data dinas, diprediksi tersebut lebih banyak.
"Mereka yang datang di Sorong rata-rata sangat cepat membuka diri dan bisa berusaha di daerah ini," jelasnya.
Onesimus menambahkan, sejak ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, persaingan di Sorong semakin ketat.
"Kita di Kota Sorong, Papua Barat Daya, ini bahkan daya tampungnya pun hingga kini sudah sangat terbatas," ungkapnya.
Sosio Historis
Tak hanya itu, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sorong Dr Bustamin Wahid menambahkan, arus migrasi di wilayah kepala burung pulau Papua, Kota Sorong, bukan menjadi hal yang baru.
"Perjalanan migrasi hingga proses diaspora di tanah Papua, sudah menjadi catatan sejarah mulai sejak abad 15, 16, 17 hingga abad 20 silam," jelasnya.
Migrasi dan perjumpaan antara orang Jawa, Sunda, hingga Maluku itu sudah berada di lingkaran bibir barat pulau Papua.
Meski telah berlangsung cukup lama, Bustamin menjelaskan, migrasi pada zaman dulu di Papua motifnya adalah ekonomi dan ekspansi.
"Kalau dulu ada orang Jawa, Sulawesi hingga Maluku ke tanah Sorong membawa motif yakni ekonomi hingga pendidikan," ungkap pria asal Maluku Utara itu.
Dosen Ilmu Sosial Unamin Sorong itu menjelaskan, pada era kekinian fenomena migrasi di Sorong, motifnya telah berubah.