Oleh: Prof., Dr., K.H., Nasaruddin Umar, M.A. (Menteri Agama RI)
TRIBUNSORONG.COM - Menebarkan energi positif bagian dari misi suci Ramadan. Perbuatan yang menyedot energi orang seperti riya dan ambisi berlebihan termasuk contoh menyedot energi orang lain sekaligus berarti menebarkan energi negatif.
Kemampuan seseorang meraih simpati, respek, cinta, dan empati orang lain adalah satu dari sekian cara mendapatkan kebahagiaan.
Inti silaturahmi sesungguhnya tidak lain adalah saling membahagiakan satau sama lain.
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 8: Membiasakan Istiqamah
Penampilan yang ceria, tutur kata yang indah, dan akhlak yang santun akan menumbuhkan simpati orang lain.
Begitu pentingnya kelemah-lembutan itu maka Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa tidak diberi kelemahlembutan, maka dia telah terhalang dari semua kebaikan.”
Seorang bijak pernah mengatakan: “Kelemahlembutan itu mampu menarik ular keluar dari liangnya.” Orang bijak lain mengatakan: “Ambillah madunya, tapi jangan merusak sarangnya.”
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 7: Lebih Banyak Diam
Jika seseorang secara konsisten mampu menjalani kehidupannya penuh dengan kelemahlembutan maka bukan saja mendatangkan kebahaagiaan permanen di dalam diri dan keluarganya tetapi segenap lingkungan masyarakat tempat ia berdomisili juga merasakan kebahagiaan itu.
Orang-orang seperti ini mampu mengalirkan energipositif ke dalam lingkungan komunitasnya.
Entah itu di kantor, di lingkugan perumahan, atau di pusat-pusat ibadah setempat.
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 6: Menjauhi Ujaran Kebencian
Orang-orang seperti ini sering dikatakan, kepergiannya adalah kehilangan dan kehadirannya adalah kebahagiaan.
Berbeda dengan orang-orang kebalikannya, yang karakternya selalu menebar energi negatif di lingkungannya, sering dikatakan, datang tidak menguntungkan pergi tak mengurangi.
Bahkan ada orang yang: “Kepergiannya Alhamdulillah dan kedatangannya inna lillah”.
Dalam era masyarakat modern, kepemimpinan masyarakat sudah meninggalkan era kepemimpinan tradisional, yakni pimpinan lebih ditentukan oleh tokoh dan figur tradisional, yang secara turun temurun diakui ketokohannya di dalam masyarakat.
Pola regenerasi dan suksesinya juga dengan cara tradisional, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada keturunan mereka atau pemilik ‘darah biru’.