Ramadhan 2023
Hukum Puasa Ramadhan bagi Wanita Hamil dan Menyusui, Apakah Wajib? Simak Dua Pendapat Ustaz Berikut
TribunSorong akan menyampaikan informasi hukum wanita hamil dan menyusui saat puasa Ramadhan menurut Buya Yahya dan Ustaz Adi Hidayat.
Hukum Puasa Ramadhan bagi Wanita Hamil dan Menyusui, Simak Dua Pendapat Ustaz Berikut
TRIBUNSORONG.COM - Berikut ini merupakan hukum puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui dalam ajaran Islam.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah wajib yang harus dikerjakan oleh umat Muslim, baik pria mapun wanita.
Namun bagaimana dengan wanita hamil dan menyusui? Apakah juga diwajibkan untuk berpuasa?
Nah untuk mengetahui informasi lebih detail, silakan simak artikel TribunSorong berikut.
TribunSorong akan menyampaikan informasi hukum wanita hamil dan menyusui saat puasa Ramadhan menurut Buya Yahya dan Ustaz Adi Hidayat.
Penjelasan Buya Yahya
Melalui kanal YouTube Media Dakwah, Buya Yahya menjelaskan tentang hal tersebut.
Buya menjelaskan jika ada wanita hamil dan berat untuk berpuasa, maka diperbolehkan tidak berpuasa.
Namun setelah selesai hamil dan menyusui harus membayarnya di lain bulan.
"Sebetulnya setiap wanita saat hamil kok berat (berpuasa) baik karena bayinya atau dirinya sendiri yang lemas, ini kemurahan dari Allah boleh membatalkan puasa.
Nanti setelah selesai hamil, melahirkan dan menyusui maka wajib mengqadha," ujar Buya saat menjawab pertanyaan jemaah.
Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan saat wanita setelah melahirkan dan menyusui, maka belum ada kewajiban untuk membayarnya.
"Kalau masih menyusui belum ada kewajiban untuk mengqadhanya, tapi setelah terbebas dari persusuan itu tadi," sambungnya.
Jika setelah menyusui kemudian hamil kembali, Buya mengatakan tetap wajib membayar puasa semampunya.
Namun hal tersebut harus dipastikan apakah ada uzur seperti sakit atau masih menyusui atau tidak.
Apabila tidak membayar puasa dan masuk ke bulan Ramadhan lagi, maka terhitung dzalim.
"Kalau setelah menyusui hamil lagi dan menyusui lagi, maka di saat setelah menyusui yang terakhir itulah wajib mengqadhanya semampunya.
Kalau tidak mengqadha sampai masuk Ramadhan lagi, maka tergolong dzalim," sambungnya.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ustaz Adi Hidayat (UAH) melalui tayangan di Audio Dakwah.
Penjelasan Ustaz Adi Hidayat
Ustaz Adi mengatakan terdapat dua pendekatan kaidah fikih untuk menentukan hukum berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui.
Yang pertama, pendekatan hakiki yang merupakan penyebab orang tak boleh berpuasa karena memang dirinya tidak diperbolehkan untuk berpuasa.
Pada tayangan tersebut, UAH memberikan contoh seperti orang sakit yang penyakitnya tidak nampak dan membuatnya tidak bisa melaksanakan puasa.
"Misalnya orang sakit yang penyakitnya tidak nampak," ujarnya dalam memberikan contoh.
Ia menyebut penyakit kanker, diabetes yang mengharuskan konsumsi obat secara berkala dan sejenisnya.
"Seperti kanker, diabetes yang harus infus atau treatment dalam waktu tertentu," sambungnya.
Kedua, ialah pendekatan maknawi yaitu pendekatan yang disebut UAH sama seperti pendekatan hakiki.
Yaitu memiliki keadaan yang sama dengan orang sakit, namun mempunyai kondisi yang berbeda.
"Sebabnya sama kayak orang sakit, tapi kondisinya berbeda," sambung UAH.
Ia menyontohkan pada kasus tersebut ialah ibu hamil atau menyusui.
Mereka diperbolehkan tidak berpuasa karena dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan bayi ataupun proses produksi asi untuk anaknya.
Ibu hamil membutuhkan masukan kalori dalam tubuh sekitar 2.200 hingg 2.300 kalori.
Sementara itu untuk ibu menyusui membutuhkan kurang lebih 2.200 hingga 26.00 kalori untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
"Paling tidak ibu hamil butuh sekitar 2200-2300 kalori dan 2.200-2.600 untuk ibu menyusui," ujar UAH.
Beberapa ibu mengklaim bahwa dirinya kuat untuk berpuasa dalam keadaan hamil atau menyusui.
Namun UAH menyampaikan, sangat disayangkan jika merasa kuat tetapi harus ada apa-apa dengan bayinya.

Pada contoh lain, ia memaparkan jika ibu hamil atau menyusui kuat untuk berpuasa, namun banyak mengeluh saat menjalankannya.
Oleh karena itu dengan kondisi seperti inilah, UAH menyebut boleh berbuka di sepanjang waktu puasa atau tidak berpuasa sekaligus.
UAH memamaparkan tidak ada perselisihan antar ulama dalam menangani kasus tersebut.
Para ulama sepakat memperbolehkan berbuka bagi mereka yang sedang hamil atau menyusui.
Meskipun tidak berpuasa, mereka wajib membayar puasa di lain waktu dan membayar fidyah.
"Kalau hamil boleh tidak puasa, tapi wajib qadha atau fidyah," ungkap UAH.
Ia menjelaskan lebih detail terkait pembayaran puasa dan fidyah.
Baginya terdapat tiga kekhawatiran ibu hamil atau menyusui saat menjalankan ibadah puasa.
Pertama, khawatir pada dirinya yang ditakutkan tidak kuat berpuasa.
Orang yang mengalami hal tersebut wajib membayar puasanya di hari lain setelah bulan Ramadhan.
Kedua, khawatir terhadap dirinya dan bayinya.
Dalam hal ini mereka mengkhawatirkan keadaan dirinya ataupun bayinya, maka diwajibkan membayar puasa dan fidyah.
"Puasa untuk dirinya, fidyah untuk bayinya," tandas UAH.
Imam Abu Hanifah mengatakan agar mendahulukan mengganti puasa daripada membayar fidyah.
"Jika dirasa mampu, dikatakan Imam Abu Hnaifah untuk membayar puasa saja," pungkasnya.
(TribunPalu.com/Hakim)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.