Hikmah Ramadan 2025

Merawat Kemabruran Puasa bagian 20: Dari Shabir ke Mashabir

Yang menarik untuk diperhatikan dari kisah ini ialah, Allah SWT menyebut Nabi Ayyub sebagai orang yang shabir, bukan mashabir, atau shabur.

Editor: Jariyanto
FREEPIK
MARAH - Ilustrasi marah. Nabi Ayub dikisahkan sebagai sosok yang sangat sabar sehingga ketika diberikan ujian berat oleh Allah SWT tidak marah atau dendam. Di dalam Al-Qur'an ada tiga istilah yang sering digunakan Allah dalam hal sabar, yaitu shabir, mashabir, dan shabur. 

Oleh: Prof., Dr. K.H., Nasaruddin Umar, M.A. (Menteri Agama RI)

TRIBUNSORONG.COM - Nabi Ayyub orang yang paling sabar, sehingga dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit aneh.

Sekujur tubuhnya mancur dan membusuk, bahkan dikerumuni belatung.

Akibatnya ia dikucilkan oleh masyarakat, termasuk oleh istri yang selama ini mendampinginya.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 19: Dari Syukur ke Syakur  

Ia dibuang jauh di luar perkampungan di sebuah pegunungan, dalam gua yang gelap. 

Suatu ketika ia termenung dan memandangi belatung yang sedang menggerogoti tubuhnya. 

Ia tiba-tiba berubah pandangan terhadap belatung-belatung yang menggerogoti tubuhnya.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 18: Dari Tahmid ke Syukur

Ia menjadikan belatung-belatung tersebut sebagai temannya dan mengatakan, "Wahai para belatung, sahabatku, makanlah sepuas-puasnya dagingku karena kalian semua sekarang sudah menjadi sahabatku."

"Kalau hari-hari yang lampau kalian kuanggap musuhku, kemana-mana saya mencari tabib untuk memusnahkan kalian, maka sekarang satu-satunya yang bersedia menemaniku di kegelapan malam di dalam gua ini hanyalah kalian."

"Semua orang, termasuk anggota keluargaku, membuang aku di tempat yang jauh ini."

Setetelah sekian lama Allah SWT menguji Nabi Ayyub, maka suatu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk melakukan sesuatu: "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum” (Q.S. Shad/38:42).

Setelah Nabi Ayyub menghentakkan kakinya ke tanah tiba-tiba muncul aliran air jernih dan sejuk dari bekas tumit Nabi Ayub.

Nabi Ayyub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar di dalam dirinya.

Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah kemana, bahkan bekas-bekas luka pun tidak tampak pada dirinya.

Ia lalu sembah sujud kepada Allah SWT dan bersyukur atas diakhirinya seluruh cobaan pada dirinya.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 18: Dari Tahmid ke Syukur

Ketika Nabi Ayub masuk kembali ke perkampungan di dalam kota dengan wajah tampan seperti semula, maka semua orang memujanya, termasuk istrinya, namun karena sudah terlanjur bersumpah akan mencabuk istrinya kalau ia kembali sembuh.

Ia diminta Allah SWT agar menunaikan sumpahnya tanpa menimbulkan rasa sakit pada istrinya: “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)” (Q.S. Shad/38:44).

Yang menarik untuk diperhatikan dari kisah ini ialah, Allah SWT menyebut Nabi Ayyub sebagai orang yang shabir, bukan mashabir, atau shabur.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 17: Dari Mukhlish ke Mukhlash

Di dalam Al-Qur'an ada tiga istilah yang sering digunakan Allah, yaitu shabir, mashabir, dan shabur.

Kata shabir menunjukkan kepada orang yang sabar, tetapi kesabarannya masih temporer, masih memberi batas, dan sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap.

Kata mashabir berarti orang yang sabar dan kesabarannya bersifat permanen tanpa batas. 

Kalau ada orang yang membatasi kesabaran dalam kurun waktu tertentu, seperti ungkapan “tapi kesabaran kan punya batas”, maka orang itu belum masuk ketagori mashabir, sedangkan shabur hanya berlaku untuk Allah SWT.

Oleh karena itu,  satu dari 99 sifat Allah yang ditempatkan dalam asma’ yang terakhir ialah al-Sabur.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 12: Memahami Peringkat Doa

Allah SWT disebut al-Shabur karena Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya.

Sekufur dan sedhalim apapun hambanya Ia tetap tidak bergeming dan tetap bersedia untuk  memaafkannya.

Ini buktinya, bahwa Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. (*)

Sumber: TribunSorong
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved