Hikmah Ramadan 2025

Merawat Kemabruran Puasa bagian 7: Lebih Banyak Diam

Nabi Zakaria juga pernah mengalami hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur'an surah Maryam. 

Editor: Jariyanto
FREEPIK
ISYARAT DIAM - Ilustrasi seorang perempuan memberi isyarat diam. Diam atau puasa bicara bukan pekerjaan mudah bagi orang normal, namun Allah SWT selalu mengingatkan kita agar hati-hati soal bicara. 

Oleh: Prof., Dr., K.H. Nasaruddin Umar, M.A. (Menteri Agama RI)

TRIBUNSORONG.COM - Ada pepatah kuno mengatakan, "diam adalah emas dan bicara adalah perak". 

Kita bisa setuju atau tidak pada pepatah ini tetapi yang pasti kita sendiri seringkali menyesal karena terlalu banyak bicara.

Kita juga sering bersyukur karena bisa bersikap diam dan mengendalikan diri sehingga terbebas dari fitnah dan marabahaya. 

Kita juga sering setuju dengan pernyataan, kita lebih gampang disuruh bicara ketimbang disuruh diam.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 6: Menjauhi Ujaran Kebencian

Yang pasti mungkin semuanya kita pernah memilih diam sebagai jawaban yang paling tepat.

Nabi Zakaria juga pernah mengalami hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur'an surah Maryam. 

Ia sangat berhasrat memiliki anak sehingga tak pernah berhenti berdoa meskipun usianya sudah tua dan istrinya juga demikian.

Sebagai wujud tanda syukur dan sekaligus nazar sekiranya ia berhasil dikaruniai anak maka ia akan berpuasa biara selama tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda".

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 5: Berorientasi Husnul Khatimah

Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat" (Q.S. Maryam/19:10).

Akhirnya doanya dikabulkan dan Nabi Zakaria pun menunaikan nazarnya dengan berpuasa bicara selama hari yang ditentukan.

Diam atau puasa bicara bukan pekerjaan mudah bagi orang normal, namun Allah SWT selalu mengingatkan kita agar hati-hati soal bicara.

Sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab/33:70).

Dalam hadis Nabi disebutkan: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasulunya maka hendaklah ia mengatakan yang benar atau lebih baik diam”.

Nabi juga mengingatkan kita: “Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya”.

“Musibah itu terwakili melalui ucapan”.

“Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya”.

“Barangsiapa yang banyak bicara, banyak juga kekeliruannya. Barangsiapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka nerakalah yang paling tepat tempatnya”.

Baca juga: Merawat Kemabruran bagian 4: Hidup Ini Adalah Seni

Banyak lagi ayat dan hadis mengingatkan kita agar jangan mengumbar pembicaraan yang tidak perlu.

Kalangan sufi ada yang pernah mengatakan bahwa diam adalah keselamatan dan itulah yang esensial, sedang bicara adalah bukan esensial.

Orang-orang masih memperselisihkan, mana yang lebih utama antara diam dan bicara, namun yang lebih tepat adalah masing-masing antara diam dan bicara memiliki keutamaan dibandingkan dengan yang lain tergantung pada situasi dan kondisinya.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 3: Mengontrol Tabungan Sosial 

Diam lebih utama dilakukan pada situasi dan kondisi tertentu, dan pada situasi lain, justru bicara lebih utama, tergantung situasi dan kondisi tentunya, namun perlu juga diingat tidak selamanya diam itu pilihan terbaik.

Adakalanya seseorang harus dan wajib biara, terutama menyuarakan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi: “Katakanlah kebenaran itu meskipun pahit”.

Basyar al-Hafi pernah mengatakan: “Jika suatu pembicaraan membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya anda diam saja. Dan jika diam justru membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya anda angkat bicara”.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 2: Dimulai dengan Niat yang luhur

Hal senada juga disampaikan Lukman kepada putranya: “Jika bicara itu adalah perak, maka diam adalah emas. Sesungguhnya aku menyesali atas suatu ucapan berulang-ulang, namun aku tidak menyesali diam sekali pun.

Abu Ali al-Daqqaq juga pernah berkomentar: “Barangsiapa diam dari kebenaran, maka dia adalah setan bisu”.

Dalam situasi lain, seseorang yang diminta untuk biara harus bicara, terutama jika pembiaraan itu mendatangkan maslahat dan mencegah mudharat. 

Bisa dicontohkan, jika seorang hamba berbicara mengenai sesuatu yang dapat menolongnya dan sesuatu yang mesti dia bicara, maka hal itu masih dikategorikan sebagai diam.

Baca juga: Hikmah Ramadan: Merawat Kemabruran Puasa bagian 1, Meneguhkan Visi Kehidupan

Konon, Abu Hamzah al-Baghdadi adalah seorang yang bagus bicaranya, lalu terdengar suara memanggilnya: “Engkau berbicara dan bicaramu bagus, sekarang tiggallah engkau diam sehingga engkau menjadi bagus.

Setelah itu, ia tidak pernah lagi bicara hingga wafatnya.

Terkadang sikap diam bagi seseorang merupakan suatu etika baginya, sebab dengan berbicara, justru ia merusak etikanya sendiri, atau dalam sebuah majelis tersebut terdapat seorang yang lebih patut berbicara, atau terdapat manusia dan jin yang tidak menjadi pendengar terhadap pembicaraan itu.

Dengan sikap diam seperti ini, maka Allah SWT akan memeliharanya. 

Sebagian ulama mengatakan: “Manusia diciptakan dengan hanya satu lidah, dan dua mata dan dua telinga adalah agar ia melihat dan mendengar lebih banyak dari pada brbicara.” Allahu'alam. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved