Kabar Merauke

LBH Papua Kecam Penyerobotan Tanah Adat oleh PT. GPA di Merauke

Tanah seluas 30.777,9 hektar milik 75 keluarga Orang Asli Papua (OAP) diduga dikuasai tanpa izin.

Dok. Istimewa
PEMILIK TANAH - Ketua LBH Papua Merauke Teddy Wakum bersama 75 Keluarga OAP pemilik tanah adat di Merauke. 

TRIBUNSORONG.COM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke mengecam keras dugaan penyerobotan tanah adat oleh PT. Global Papua Abadi (GPA) di Dusun Arwa, Distrik Tanah Miring, Merauke

Tanah seluas 30.777,9 hektar milik 75 keluarga Orang Asli Papua (OAP) diduga dikuasai tanpa izin.

Baca juga: AZKO Resmikan Toko ke-250 di Kota Sorong, Tonggak Ekspansi Nasional dari Sabang sampai Merauke

Menurut LBH Papua Merauke, tindakan PT. GPA bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga bentuk kekerasan struktural dan kolonialisme baru, yang disponsori negara melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) bioetanol, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 40/2023 dan Keppres No. 15/2024.

Warga menyatakan tanah tersebut telah mereka miliki sejak 1942, dengan pelepasan hak resmi dari Marga Balagaize pada 1990. 

Baca juga: Detik-Detik Polres Merauke Tangkap Kurir Sabu yang Lama Buron, 2 Kali Sempat Lolos

Bukti kepemilikan hukum dan adat Suku Malind masih lengkap. Namun perusahaan diduga tetap menggusur tanpa izin pemilik hak ulayat.

“Tanah bukan sekadar lahan, tapi kehidupan. Kini kami hanya bisa menangis melihat alat berat menghancurkan masa depan,” ujar salah satu warga.

Penolakan juga datang dari berbagai suku di Merauke termasuk Kimahima, Maklew, Malind, dan Yei. 

Mereka menilai kehadiran PT. GPA mengancam sistem sosial dan budaya masyarakat adat.

LBH Papua Merauke menyebut tindakan ini melanggar Pasal 385 jo. 372 KUHP: Penggelapan dan perampasan hak milik, Pasal 1365 KUHPerdata: Perbuatan melawan hukum dan Pelanggaran HAM berat: karena merampas tanah, mata pencaharian, dan budaya

Tuntutan masyarakat adalah PT. GPA segera menghentikan seluruh aktivitas di atas tanah adat, Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke segera bertindak dan memulihkan hak warga, Pemerintah pusat dan Satgas PSN bertanggung jawab atas dampak sosial-ekologis dan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan lembaga internasional turun tangan menghentikan perampasan.

“Setiap hektar yang dirampas, setiap air mata yang tumpah, akan dicatat sejarah. Tanah Papua bukan untuk dijual. Masyarakat adat bukan untuk dikorbankan demi industri,” tegas LBH Papua Merauke. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved