Pemalangan Pasar Mariat Aimas Sorong

Makna Pemalangan Bambu Tui dan Kain Merah dalam Tradisi Adat Moi

Pemalangan menggunakan kain merah dililit dan ranting bambu ini membuat akses ke fasilitas umum tersebut terhambat.

|
TRIBUNSORONG.COM/TAUFIK NUHUYANAN
PALANG ADAT - Pemalangan adat di Pasar Mariat, Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Jumat (31/10/2025). Kepala Suku Besar Moi Raya Silkofok Yermias Su mengatakan, warna merah melambangkan teguran keras dan protes adat terhadap sesuatu yang dianggap tidak sesuai aturan, kesepakatan, atau keadilan adat. 

TRIBUNSORONG.COM, AIMAS - Warga pemilik hak ulayat Marga Makmini memalang empat titik sekitar kawasan Pasar Mariat, Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Jumat (31/10/2025).

Pantauan TribunSorong.com, titik itu antara lain pintu masuk, pintu keluar pasar, pintu masuk terminal, dan kantor UPTP Samsat Kabupaten Sorong.

Baca juga: Marga Makmini Beri Batas Waktu 2 Minggu, Minta Bertemu Bupati Sorong Soal Hak Ulayat Pasar Mariat

Pemalangan menggunakan kain merah dililit dan ranting bambu ini membuat akses ke fasilitas umum tersebut terhambat.

Tradisi adat masyarakat Moi ini punya makna dan tanda larangan aktivitas di lokasi tersebut.

Baca juga: Pelayanan UPT Samsat Aimas Sorong Normal Lagi usai Dipalang, Instansi Vital Himpun Pendapatan Daerah

Kepala Suku Besar Moi Raya Silkofok Yermias Su mengatakan, tradisi itu bukan sekadar benda fisik, melainkan simbol sacral, sarat makna dan nilai spiritual.

Warna merah melambangkan teguran keras dan protes adat terhadap sesuatu yang dianggap tidak sesuai aturan, kesepakatan, atau keadilan adat.

Baca juga: UPDATE Pemkab Sorong dan Marga Makmini Berdamai, Palang Pasar Mariat Dibuka

Sementara bambu, khususnya jenis bambu tui memiliki makna khusus sebagai penanda tindakan adat besar tokoh-tokoh adat.

“Kalau bambu tui dipakai, itu berarti proses besar dan dilakukan oleh orang adat. Bambu tui itu simbol orang adat sejati,” ujar Yermias Su.

Kain merah sendiri merupakan perkembangan baru dalam tradisi pemalangan. 

Dahulu, masyarakat adat hanya menggunakan bambu tui sebagai tanda larangan, penggunaan kain merah muncul seiring perubahan zaman dan meluasnya pemahaman masyarakat tentang simbol adat.

“Sekarang banyak orang mudah marah atau menuntut haknya, mereka ikat kain merah di kayu atau bambu. Tapi itu berbeda dengan bambu tui. Kain merah menandakan tempat itu tidak boleh diinjak atau digunakan,” katanya.

Baca juga: BREAKING NEWS : Pemilik Hak Ulayat Palang Pasar Mariat Aimas Sorong

Menurut Yermias, kesakralan tindakan adat bukan pada benda yang digunakan, melainkan pada niat dan prosesi adat mengiringinya. 

Upacara pemalangan disertai doa dan restu leluhur, menjadi tanda bahwa roh-roh adat turut hadir menjaga keseimbangan dan keadilan.

“Adat tidak bisa dimainkan dengan uang. Kalau sudah pasang bambu atau kain merah, itu berarti adat berbicara. Siapapun melanggar, akan tanggung akibatnya secara adat maupun spiritual,” ucapnya.

Tradisi pemalangan bambu tui dan kain merah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Moi di Sorong Raya sebagai mekanisme sosial dan hukum adat menegur, menuntut hak, atau menyampaikan ketidakpuasan.

Hingga kini, simbol kain merah dan bambu tui tetap dihormati sebagai penanda kesakralan dan identitas adat Moi, sekaligus bukti bahwa adat dan budaya masih hidup serta dijunjung tinggi di Tanah Moi. (tribunsorong.com/taufik nuhuyanan)

Sumber: TribunSorong
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved