Hikmah Ramadan 2025
Merawat Kemabruran Puasa bagian 15: Dari Taubat Inabah ke Istijabah
Taubat paling standar ialah orang yang sadar dari lumpur maksiat kemudian meninggalkan seluruh kebiasaan-kebiasan buruk lamanya.
Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya tetapi malah melakukan dosa dan maksiat.
Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya tega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya.
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 11: Hikmah di Balik Penolakan Doa
Ketersiksaannya lebih berat ketimbang ia masuk ke dalam neraka.
Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadap Tuhannya maka ia akan memilih disiksa di neraka.
Sudah sepantasnya kita mengevaluasi perjalanan hidup dan diri kita.
Tanda-tanda ketuaan apa yang kita sudah miliki?
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 11: Hikmah di Balik Penolakan Doa
Mungkin uban sudah bercampur di tengah rambut hitam kita, rasa ngilu di tulang persendian sebagai akibat gejala penuaan, pembatasan-pembatasan apa yang diminta dokter pribadi kita, semisal membatasi makanan dan pergerakan fisik.
Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figur keteladanan orang tua, atau mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita? Tataplah diri kita tanpa topeng kepalsuan.
Apakah diri kita pantas diidolakan atau mereka semua terkecoh dengan topeng-topeng kepalsuaan yang melekat di wajah kita.
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 10: Rahasia Pengabulan Doa
Di depan mereka kita malaikat tetapi di luar sana kita iblis. Jangan-jangan kita tak lebih seonggok nafsu?
Evaluasi diri kita masing-masing, jenis taubat apa yang kita miliki?
Apakah kita sudah melakukan penyesalan terhadap dosa dan maksiat yang telah kita lakukan?
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 9: Menebar Energi Positif
Apakah kita tergolong yang selalu membayangkan panasnya api nerakan setelah melakukan dosa dan maksyat?
Apakah sudah terbetik rasa malu kepada Allah SWT setelah kita melakukan dosa?
Apakah telah muncul penyesalan mendalam dan bertekad untuk memutuskan segenap dosa-dosa dan maksiat langganan kita, karena takut atau malu kepada Allah SWT?
Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa bagian 5: Berorientasi Husnul Khatimah
Apakah kita telah mengganti langganan dosa dan maksiat itu dengan amal kebajikan?
Atau kita sama sekali belum melakukan perubahan di dalam diri kita, dosa dan maksiyat masih berjalan terus tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun.
Masih ada sedikit waktu untuk bertaubat, lakukanlah sebelum segalanya terlambat. (*)
Merawat Kemabruran Puasa bagian 30-habis: Dari Religiousness dan Religious Mindedness |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa bagian 29: Dari Salam, Islam, dan ke Istislam |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa bagian 28: Dari Sufi Palsu ke Sufi Sejati |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa bagian 27: Dari Wirid ke Warid |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa bagian 26: Dari Ta'abbud ke Isti'anah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.