Lingkungan Hidup
SIEJ Simpul Papua Barat Daya Gelar Nobar dan Diskusi tentang Kawasan Konservasi
SIEJ Simpul Papua Barat Daya menggelar nonton bareng (nobar) dan hasil liputan khusus investigasi bertema "Mayawana Datang, Orangutan Jadi Gelandanga
Penulis: Willem Oscar Makatita | Editor: Ilma De Sabrini
TRIBUNSORONG.COM, SORONG - Society Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Papua Barat Daya menggelar nonton bareng (nobar) dan hasil liputan khusus investigasi bertema "Mayawana Datang, Orangutan Jadi Gelandangan".
Kemudian, dilanjutkan dengan diskusi publik bertajuk "Belajar dari Borneo, Save Kawasan Konservasi di Papua Barat Daya".
Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Seduia, diskusi dan nobar tersebut digelar di Kedai Kopi Hangout, Kota Sorong pada Rabu 5 Juni 2024.
Baca juga: Yayasan Pusaka Angkat Tradisi Gelek Malak Kalawilis Pasa Sorong Kelola Hutan Adat Jadi Buku
Kegiatan ini melibatkan insan pers, mahasiswa, para peneliti, dan NGO lingkungan di Provinsi Papua Barat Daya.
Charles Tawaru Ketua Papua Forest Watch di Tanah Papua mengatakan, pada pertengahan tahun 2021 ada belasan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat yang dicabut.
"Sebelum pemekaran di Provinsi Papua Barat ada 24 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki konsesi seluas sekitar 759.000 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 625.000 hektare di antaranya adalah kawasan hutan," ujarnya.
Dikatakan Charles, dari 16 perusahan sawit yang izinnya dicabut itu memiliki lahan seluas 340.000 hektare.
Ia pun berharap, program yang dilakukan kawan-kawan di Manokwari terus mendorong menyelamatkan 70 persen kawasan hutan di Papua Barat dan Papua Barat Daya.
"Harapan lain juga ada dokumen perubahan kawasan hutan yang harus diselamatkan di Provinsi Papua Barat Daya, ketika dokumen itu nantinya disahkan oleh pemerintah," tuturnya.
"Kita bisa hidup tanpa sawit, tetapi kita tidak bisa hidup tanpa dusun sagu di Tanah Papua," lanjut Tawaru.
Baca juga: Hutan Adat Digarap Pemilik Modal, Pemda Sorong Selatan Diminta Bersikap soal Banjar
Amelia Puhili dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melihat persoalan kerusakan lingkungan dari sudut pandang yang berbeda.
Ia pun mengatakan kondisi yang terjadi di Kalimantan tidak jauh berbeda dengan kondisi di Tanah Papua.
Dikatakan Amelia, perempuan Papua identik dengan hutan demi memenuhi kebutuhan hidup dahulu sangat gampang mengumpulkan makanan.
Akan tetapi, lantaran adanya transisi pola makan masyarakat adat yang di dalamnya terdapat pola pangan yang menurun dan akibatnya terdampak pada stunting.
"Ketika mereka tadinya hidup sangat dekat dengan hutan justru sangat gampang mereka mencari makanan, hanya saja ketika masuknya koorporet atau perkebunan kelapa sawit membuat mereka mulai susah untuk mendapatkan bahan pangan dari hutan," kata Amelia.
Baca juga: Suku Moi dan Awyu Gugat Pemprov Papua, Mengadu ke MA soal Korporasi Monopoli Kebun Sawit
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.