MRPBD
MRPBD Minta Pendataan OAP Serius, Batasi Migrasi dan Atasi Kekeliruan Data Penduduk
Ketua Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD), Alfons Kambu, menilai implementasi Otonomi Khusus (Otsus) dua dekade gagal.
Penulis: Taufik Nuhuyanan | Editor: Petrus Bolly Lamak
TRIBUNSORONG.COM, SORONG - Ketua Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD), Alfons Kambu, menilai implementasi Otonomi Khusus (Otsus) dua dekade gagal.
Kegagalan ini, kata dia, disebebkan data Orang Asli Papua (OAP) belum akurat.
Baca juga: DPRP Papua Barat Daya Minta Pendataan OAP Dipacu, Jamin Hak Tanah dan Identitas Adat
24 tahun otsus berjalan, manfaatnya belum dirasakan nyata oleh masyarakat Papua.
“Selama ini kita hanya bicara soal kucuran dana otsus besar, tapi kenyataannya orang Papua tetap tinggal di tempat sama, tidak ada perubahan signifikan.,” ujar Alfons, Sabtu (2/8/2025).
Baca juga: Usulan Kuota Haji Khusus OAP, Daftar Tunggu hingga Wacana Pembentukan Embarkasi di Sorong
Ia bilang, MRPBD sudah rapat bersama pihak-pihak terkait, termasuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat.
Terungkap, sistem kerja disdukcapil bersifat vertikal dan menunggu perintah pusat.
Baca juga: 35 OAP Ikuti Pelatihan Batik Ecoprint di Sorong, Disiapkan Tembus Pasar Nasional
Makanya, tidak responsif terhadap kebutuhan pendataan berbasis wilayah khusus seperti Papua.
“Betapa pentingnya data, karena hanya dengan itu masyarakat bisa menikmati manfaat Otsus secara adil,” ujarnya.
Baca juga: Turnamen Tenis Meja Papua Barat Daya Bergulir, Gubernur Harap Lahir Atlet Tangguh dan Berkarakter
Lebih lanjut, Alfons mengatakan, perlu membedakan antara OAP dan orang yang diakui sebagai Papua dalam konteks politik dan pelayanan publik.
OAP adalah mereka yang diakui oleh rumah adat.
Baca juga: Turnamen Tenis Meja Papua Barat Daya Bergulir, Gubernur Harap Lahir Atlet Tangguh dan Berkarakter
Kalau tidak diakui di rumah adat, maka tidak berhak atas hak-hak politik tertentu, meskipun memiliki KTP Papua.
“Kami usul pendataan identitas OAP dilakukan serius, termasuk mencatat siapa saja yang pernah diakui oleh rumah adat,” katanya.
Baca juga: Papua Barat Daya Kirim 4 Duta Suara ke Gita Bahana Nusantara 2025, Tampil di HUT 80 RI
Pihaknya mendorong lahirnya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pengendalian penduduk di wilayah Papua Barat Daya.
Ini sebagai instrumen hukum membatasi migrasi yang tidak terkontrol.
“Kalau orang datang seminggu sampai enam bulan, cukup wajib lapor ke RT atau kepala kampung. Tidak bisa langsung bikin KTP Papua lalu ikut menikmati hak-hak politik atau bantuan sosial seperti BLT dan BPJS,” ujar Alfons.
Baca juga: Rezeki Nomplok! Gubernur Janjikan Rp5 Juta Bagi Penemu Balon Merah Putih di Papua Barat Daya
Pria asal Maybrat itu mengatakan, siapa pun tinggal di Papua Barat Daya harus menunjukkan kontribusi nyata.
Dan terdaftar di lembaga yang diakui pemerintah, agar seluruh aktivitas bisa diaudit dan dipertanggungjawabkan.
“Saya mengajak seluruh masyarakat Papua Barat Daya aktif memberikan data yang benar dan jujur,” katanya.
Ia bilang, masih ada praktik pencatutan nama orang yang sudah meninggal namun masih digunakan untuk kepentingan administratif.
“Itu menjadi kutukan bagi keturunan. Gereja pun harus bersinergi, setiap ibadah pemakaman harus disertai dengan surat kematian untuk diserahkan ke disdukcapil,” katanya.
Baca juga: Gubernur Elisa Kambu Buka Konferda I, Dualisme KAPP Papua Barat Daya Memanas?
Alfons mengaku, MRPBD membutuhkan dukungan masyarakat dalam bentuk informasi, tertulis maupun datang ke kantor.
“Kami memang dibatasi oleh regulasi, tapi kami tetap bisa membangun opini dan menyampaikan aspirasi ke DPR,” pungkasnya. (tribunsorong.com/taufik nuhuyanan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.